Meningkatkan Self Acceptance untuk Menjaga Mental di Masa Quarter Life


Meningkatkan-self-awareness-mental-health


“Biarkan Kakak hidup dengan campur aduk rasa begini, Dek


    Cerita Kak Iriana yang menjadi salah satu penginap penyakit mental Borderline Personality Disorder (BPD). Penyakit mental BPD ini kerap kali membuat dirinya diambang kesulitan untuk bertahan hidup. BPD ini didiagnosis menyerang dirinya ketika dia berusia 23 tahun atau menuju masa perempatan usia (Quarter Life).


         Masa quarter life ini ternyata membuat dia juga kehilangan sosok dirinya, akibat perasaan seperti kecemasan yang berlebihan, mood tidak stabil maupun kesulitan menjalani hubungan sosial. Yang aku sayangi dari Kak Iriana saat menyakiti dirinya sendiri. Karena baginya salah satu cara yang membuat dirinya tenang ialah dengan menyakiti diri sendiri. Ya, sebab seperti tak ada ruang bagi dirinya untuk berbagi perasaan ini. Kecemasan dan ketakutan yang berlebihan dialaminya selalu dinilai sebagai salah satu sikap yang aneh bagi orang-orang terdekat. Bahkan saat dia mencurahkan isi hatinya tersebut kepada orang-orang terdekatnya namun selalu saja mendapatkan respon yang tidak mengenakkan. 


Kesehatan-Mental


    Padahal kesehatan mental itu sangat penting, pun jika diabaikan tentunya membahayakan masa depannya. Dilansir dari World Health Organization (WHO), kesehatan secara umum adalah keadaan sehat secara utuh baik sehat fisik maupun sehat mental (rohani dan sosial). Pandangan masyarakat awam beranggapan jika mereka pergi ke psikolog atau psikiater menandakan dia sedang gila, sebenarnya bukan begitu. Justru dengan mengunjungi psikolog dan psikiater merupakan tanda mental ini sedang tidak baik-baik saja. Dan sama halnya, kita mengunjung dokter umum pastinya memiliki tujuan untuk mengobati tubuh kita sendiri. 


    Jika diperhatikan lagi, isu kesehatan mental ini dapat dilihat dari data Populix pada tahun 2022. Bahwasanya masalah kesehatan mental terjadi paling banyak di kalangan usia 18-24 tahun. Adapun uraian respondennya yaitu pekerja (60,5%), pelajar (26%), berstatus lajang (50%), dan berstatus menikah (40%). Salah satu faktor terbesar pemicu kesehatan mental responden ini yaitu masalah finansial dan perubahan suasana hati yang dialami.

  

        Sehingga penting bagi milenial yang berada di masa perempatan usia mengenali konsep dirinya. Karena masalah ketidakmampuan milenial dalam memahami dirinya inilah yang akan berpengaruh terhadap kesehatan mental/ jiwanya.



Pentingnya Self Acceptance Untuk Kesehatan Mental Milenial


Mental-yang-baik


    Memulai pemahaman dari definisi yang dilansir oleh Verywell Mind. Self awareness atau self acceptance dijelaskan tentang suatu keadaan kita untuk mengenali diri keadaan diri sendiri atau fokus pada diri sendiri. Kondisi self acceptance mengacu pada self acceptance terhadap internal maupun eksternal. Dengan self acceptance internal berupa pengelolaan emosi, pikiran, dan stress di dalam diri ini, dengan menjadi lebih terkontrol sehingganya kita akan merasakan kebahagiaan. Sedangkan self acceptance eksternal ialah saat kamu memahami orang lain dengan menunjukkan empati kepadanya. Jelas, jika kamu ingin bahagia di kehidupan dengan fokus pada diri sendiri dan juga lebih empati kepada orang lain.

    

    Lantas seperti apa langkah meningkatkan self acceptance yang perlu diterapkan oleh milenial? 


    1. Membangun Rasa Ingin Tahu pada Diri Sendiri


    Setiap hari kita mesti mengetahui apa yang terjadi pada diri sendiri. Dengan menyadari akan apa yang kita rasakan, kita alami, penyebab, solusinya, bahkan menemukan kekurangan pun kelebihan dari dalam diri. Karena hal ini dapat memperkuat bonding kita pada diri sendiri. Sehingga suara di kepala kita akan tercurahkan lewat kegiatan yang dilakukan tersebut seperti menulis setiap detail yang kita lakukan tiap harinya.


    2. Meminta Sudut Pandang dari Orang Lain


    Kalau kita sendiri sudah membantu diri untuk melihat apa yang ada di dalam diri ini, namun tetap saja adakalanya pandangan dari orang lain justru kita butuhkan. Dan bisa jadi kita tidak melihat hal tersebut ada pada dalam diri kita tidak maka orang lain lah yang mengingatkan hal ini. 


    3. Berhenti Menanyakan Kenapa


    Bahkan saat kita menghadapi masalah berat seperti mental sekali pun. Sebaiknya kita tidak baik mempertanyakan itu semua. Sebab dengan selalu menanyakan setiap kejadian tersebut kita justru tidak objektif mengambil keputusan dengan matang. Salah satu yang dapat kita lakukan ialah dengan menanyakan apa atau solusi dari kejadian yang menimpa ini.


    Sadari bahwa tiga di antara ini juga penting untuk kita lakukan untuk menjaga mental sendiri. Bayangkan! Kesehatan mental yang terganggu akan berpengaruh juga pada kesehatan fisik kita. Yuk milenial lakukan langkah untuk meningkatkan self acceptance tersebut.


    

Menyikapi Fase Quarter Life Crisis demi Menjaga Mental dan Masa Depan


    Kamu tidak sendirian kok melewati fase quarter life ini. Kita semua akan dan pernah merasakannya. Nah, bagaimana sikap-sikap yang mesti kita coba lakukan agar dapat menjalani fase QLC ini dengan baik? Adapun cara yang dapat kita lakukan demi menjaga mental sendiri dan masa depan kita juga.


    Salah satu penelitian dari Maslow dan Mittlemenn, 2007. Mereka menguraikan pandangannya mengenai prinsip-prinsip kesehatan mental, yang disebutkan dengan manifestation of psychology health. Manifestasi mental yang sehat tercermin dalam 11 dimensi mental sebagai berikut:


    1. Adequate feeling of security (rasa aman yang memadai)


    Seperti perasaan aman saat kamu menjalani pekerjaan karena lingkungannya yang saling mendukung, menghargai keberadaan dirimu, dan sebagainya. Segi sosial, ketika kamu membutuhkan orang lain dalam hidupmu. Atau segi hubungan bahkan percintaan pun yang mana rasa aman yang juga dibutuhkan.


    2. Adequate Self Evaluation (kemampuan menilai diri sendiri yang cukup)


    Memiliki harga diri yang memadai dan merasakan ada nilai yang sebanding antara keadaan sebenarnya dengan potensi diri yang dimiliki, memiliki perasaan yang berguna buat diri sendiri, perasaan yang tidak membuat kita merasa bersalah berlebihan, mampu mengenali hal yang harus diungkapkan di publik dan hanya dikonsumsi buat pribadi sebagai privasi diri, bahkan keadaan ketika kita merasakan diterima di sebuah kehidupan bermasyarakat itu menjadi konsep utama memahami dan menilai diri sendiri juga.

    

    3. Adequate Spontanity and emotionally (memiliki spontanitas dan perasaan yang memadai bersama orang lain)


    Hal ini seperti kita membentuk hubungan emosional dan batin secara kuat dengan orang lain, seperti hubungan batin yang abadi antara orang tua dan anak, hubungan persahabatan, dan percintaan. Tak hanya itu, kemampuan kita memahami dan membagikan perasaan kita kepada orang lain. Bahkan saat kita menyenangi sesuatu maka akan spontan untuk tertawa. Pun sebaliknya, saat kita melihat sesuatu yang menyayat hati maka spontan kita untuk menangis.


 Jadi, terkadang semua perasaan tersebut muncul tidak harus memiliki alasan, kok. Bahkan yang terjadi setiap detiknya terkadang juga tidak harus memiliki alasan yang jelas untuk mengapa kita bersedih atau bahagianya.


4. Efficient Contact with Reality (Memiliki kontak yang efisien dalam realitas)


    Kontak ini mencakup aspek fisik, sosial, dan diri sendiri. Jika ini dikaitkan dengan angan-angan atau harapan seseorang, maka jelas khayalan akan kesuksesan atau kebahagiaan itu selalu ada. Jika ini dikaitkan dengan kegagalan, maka jelas kemampuan kita untuk memahami masa-masa sulit dalam hidup. Dan jika ini dikaitkan dengan diri sendiri, maka jelas kemampuan kita menghadapi dunia luar dan tanpa merasa tertekan dengan apapun di dalam hidup.


Prinsip-prinsip-kesehatan-mental


5. Adequate Bodily Desires and Ability to Gratify Them (Keinginan, kebutuhan jasmani dan kemampuan untuk memuaskan)


    Seperti halnya kemampuan kita menerima nikmat sakit dan sehat dalam hidup, pulih dari kelelahan, menikmati makan dan minum yang menyehatkan diri, dan kenikmatan lainnya. Bahkan kemampuan untuk seksual dengan pasangan halal yang tanpa takut dan konflik jika dilakukan. Lebih dari itu, ketika kenyamanan dan ketenangan dalam hidup yang membuat kita sehat fisik dan mental.


6. Adequate Self Knowledge (Kemampuan pengetahuan yang wajar)

    

    Termasuk saat kita mendapatkan prestasi, memilih tujuan, mendapatkan hambatan, dan perasaan yang wajar saat berjuang. Bahkan lebih saat kita menilai kemampuan diri sendiri dengan jujur, menerima apa adanya diri sendiri, mampu mengakui dan menerima pikiran dan segala hal yang terjadi dari dalam diri.


7. Integration dan Consistency or Personality (kepribadian yang utuh dan konsisten)


    Pada saat kita mengembangkan diri sendiri, bertumbuh dengan baik, dan menjalani aktivitas sesuai minat dan bakat sendiri. Dan kita tidak takut begitu konflik muncul karena telah mempunyai solusi terbaik dari diri sendiri.


8. Adequate of Life Goals (Tujuan Hidup yang Wajar)


       Hal ini wajar sebagai manusia yang penuh dengan mimpi. Namun tetap kita imbangi dengan tujuan hidup yang sewajarnya saja.


9. Ability to Learn from Experience (Kemampuan belajar dari pengalaman)


    Seiring bertambahnya usia, kita kaan mendapatkan pengalaman hidup dari perjalanan sendiri. Dari perjalanan hidup ini kita dapat memetik hikmahnya yang baik untuk menjadikan tambahan pengetahuan untuk kita kedepannya. Kita juga bisa mendapatkan pengalaman dari perjalanan orang lain juga.


10. Ability to Satisfy to Requirements of the Group (Kemampuan untuk memuaskan tuntutan kelompok)


    Saat bekerja sama maka kita mesti menyeimbangi dan menyesuaikan diri dengan kelompok sendiri. Bahkan tanpa kita merasakan kehilangan identitas pribadi. Tak hanya itu, kita juga akan berusaha memberikan yang terbaik untuk kelompok.


11. Adequate Emancipation from the Group or Culture (Emansipasi yang memadai saat bersama kelompok atau budaya tertentu)


     Ini dapat terjadi saat kita menjadi volunteer ke luar daerah. Contohnya saat aku menjadi volunteer ke Mentawai. Dari Padang (Ranah Minang) budaya Minangkabau akan berbeda dengan budaya Mentawai. Bahkan mereka perbedaan budaya dan bahasa ini membuatku harus menghargai perbedaan itu.


    So, sudahkah kamu menyikapi kesehatan mentalmu di masa QLC ini agar masa depanmu menjadi lebih terarah dan bahagia, tentunya. Aamiin.



Menjadi Milenial Bahagia di Masa Quarter Life


Menjadi-milenial-bahagia


    Baik, izinkan aku bercerita mengenai kisahku dalam menjaga kesehatan mental. Melewati tahun dalam masa quarter life ini menjadikan aku harus banyak berjuang dalam hidup. Tepatnya pada tahun lalu, tahun itu menjadi tahun perjuanganku sepanjang harinya. Setiap tertidur aku selalu merenungi bakal menjadi seperti apa diriku, aku belum mendapatkan pekerjaan tetap bahkan pekerjaan pertamaku sudah tidak memberikan ketenangan dan kenyamanan sama sekali. 


    Bayangkan!


    Sepanjang hari aku selalu melihat dan menyaksikan diri ini semakin dewasa yang tidak ada tujuan. Namun apa yang aku impikan masih jauh. Kadang aku merasakan sedih, berusaha damai dengan diri sendiri, tapi bagaimana mungkin karena ketika perjuanganku rasanya belum terbayarkan. Sampai aku sempat merutuki diri, mengapa aku tidak begini dahulunya dan segala overthinking ini muncul.


    Tapi masih ada secercah harapan begitu aku  yakin dengan takdirku. Karena aku percaya apa yang ditakdirkan untukku, pasti akan aku miliki bahkan jika itu berada di bawah dua gunung, dan apa yang memang tidak ditakdirkan untukku takkan pernah aku miliki bahkan jika itu berada tepat di antara dua bibirku. Ini bukan tentang konsep jodoh saja, melainkan konsep hidup yang tidak pernah gagal membuat kita harus melewati ini semua.


    Ya, begitu aku percaya itu. Satu per satu perjuanganku terjawab. 


    Tapi apakah setelah itu aku mendapatkannya, aku bahagia? Bahagia dong, namun sebentar saja. Hingga kemudian aku merasakan mentalku tidak begitu baik juga. Ada saatnya sedih itu kembali, walau kita punya tujuan untuk bahagia. Sehingga aku menemukan jawaban mengapa aku hanya bahagia sejenak saja?


    Jawabannya,


    Aku melewati fase masa quarter life. Ya, fase quarter life yang pasti dirasakan oleh setiap manusia saat melewati usia 20-an hingga 3o tahun. Berdasarkan peneliti sekaligus pengajar Psikologi dari University of Greenwich London, Dr. Oliver Robinson. Kita akan menemukan 4 fase dalam Quarter Life Crisis (QLC) ini. Yakni, pertama merasakan perasaan terjebak dalam situasi baik itu pekerjaan, hubungan dan sebagainya. Kedua, harapan yang muncul untuk perubahan hidup. Ketiga, membangun kembali hidup yang baru. Dan keempat, mengukuhkan aspirasi, motivasi dan tujuan.


    Kini terjawab sudah aku sedang melewati fase ketiga dan keempat itu. Aku menemukan alasan mengapa aku tidak selalu bahagia bahkan keresahan dan kecemasan menghantui diri. Ingin rasanya aku menghindari dari fase QLC ini, tapi seiring berjalannya waktu aku harus menyadari ini perjalanan hidup yang mesti aku jalani dan terima dengan baik. 


    Menurut Zawadzki, Assistant Professor of Psychology pada University Of California, menganalisa bahwa detak jantung dan tingkat stress dari 115 orang dalam rentang usia 20-30 tahun, ternyata seseorang yang menjalani hobinya atau aktivitas yang membuat dirinya bahagia akan memiliki detak jantung dan tingkat stress yang rendah. 


   Dan bersyukur sekali diriku, begitu melewati fase QLC ini aku menemukan hobiku yaitu menulis. Masya allah, tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata bahagianya saat aku telah menuliskan curahan hati dan pikiran aku ini ke ruang digital bernama blog. Pun syukur-syukur pembaca mendapatkan hikmah dari ceritanya.

 

    Jadi, salah satu menjaga kesehatan mental versiku saat melewati perempatan usia atau QLC ialah menjadi blogger dan menulis dalam bentuk apapun. Kalau kalian punya hobi apa nih? Pasti akan bahagia ya setelah menjalaninya?



Penutup


    Semakin kita menjadi diri sendiri dengan menyadari dan mengenali diri sendiri maka akan meningkatkan self acceptance kita terhadap diri ini. Bahkan menjaga kesehatan mental itu sama pentingnya dengan menjaga fisik. Walau kita semua pasti menjalani semua masa Quarter Life Crisis (QLC) ini, maka pastinya kita harus mampu menyikapi diri sendiri dengan melakukan aktivitas dan menjalani prinsip kesehatan mental dengan utuh.


    Selain itu, menemukan platform yang peduli akan kesehatan mental milenial yaitu Dear Senja telah membuat hatiku bahagia. Salah satu artikel Dear Senja yang paling kusukai ialah rekomendasi cek kesehatan mental online. Bahkan tak hanya itu aku menyukai hampir keseluruhan artikel yang membahas seputar kesehatan mental di dalam blog Dear Senja. Dalam platform Dear Senja kita akan menemukan teman curhat online dan support system yang dapat mendengarkan keluh kesah kita sendiri.


    Gimana? Keren banget kan. Jadi milenial yang bahagia di tengah masa quarter life, yuk! 


    #DearSenjaBlogCompetition


Referensi


- Pengalaman Pribadi

- Infografis : Ulfah Aulia - sahabatulfah, diolah dengan aplikasi canva

- https://www.blog.dearsenja.com

No comments:

Terima kasih atas kunjungannya, dont forget tinggalkan jejak (Komentar akan dimoderasi) dan saling follow ya, thanks 🙏😊

Theme images by diane555. Powered by Blogger.