Tak Semua Harus Sekarang, Menemukan Makna di Saat Merasa Tertinggal

August 07, 2025

Tak-semua-harus-sekarang


Tak Semua Harus Sekarang, Menemukan Makna di Saat Merasa Tertinggal.


Subuh itu, aku duduk di teras rumah sambil menatap jalan yang sepi. Hanya suara kendaraan sesekali lewat, memecah keheningan. Di tanganku ada secangkir susu hangat, tapi rasanya seperti ikut dingin.


Sehari sebelumnya, aku bertemu seorang keluarga sekaligus rekan kerja. Dia bercerita tentang kelulusan, kerja yang lebih menjanjikan, dan rencana pelantikannya nanti. Aku tersenyum, mengangguk, dan memberi selamat. Tapi, entah kenapa, saat berjalan pulang, ada rasa perih yang muncul di hati ini.


"Dulu kita sama-sama mulai dari nol, tapi kenapa sekarang dia begitu jauh melesat?"
Pertanyaan ini terus berputar di kepalaku.



Mengakui Rasa Sakit Tanpa Menyalahkan Allah


Malam itu aku memutuskan untuk jujur pada diriku sendiri. Aku memang sedang kecewa. Aku merasa tertinggal. Bahkan ada luka yang sulit dijelaskan. Tapi entah kenapa di tengah rasa itu, aku juga sadar:  ini bukan salah siapa-siapa. Apalagi salah Allah.


Aku menangis, tapi bukan marah. Aku hanya ingin melepaskan beban di dada. Aku hanya perlu berdamai pelan-pelan dengan diri saat ini. Hingga hati aku berkata:


"Ya Allah, aku percaya Engkau tahu yang terbaik. Tapi izinkan aku merasa sedih sebentar."



Menemukan Sisi Baik di Tengah Kekurangan



Sedih yang muncul tersebut aku terima. Bahkan hari-hari setelahnya aku melewati hari seperti biasa saja. Namun aku masih butuh menerima dan mencoba menulis perasaan ini di jurnalku. 


Aku tulis semua yang aku rasakan: kecewa, takut, khawatir, dan rasa minder saat membandingkan diri dengan orang lain. Tapi nyatanya, setelah menulis, aku melihat satu hal yang luput aku sadari ternyata aku sekarang punya sesuatu yang dulu tak kumiliki yaitu waktu.


Waktu untuk membersamai bayiku. Waktu untuk merawat diri meski sebentar. Waktu untuk mencoba hal baru, termasuk membangun usaha dari nol.


Mungkin ini cara Allah membawaku ke jalan yang berbeda.



Belajar Berprasangka Baik


Aku mulai mengubah cara pandangku. Kalau temanku sedang “memanen” hasil kerja kerasnya, aku sedang “menanam” di ladangku. Wajar kalau hasilnya belum terlihat. Aku tahu Allah itu sangat adil, adil sekali. Namun hanya waktunya saja yang berbeda.


Setiap rasa minder itu datang, aku mencoba mengucapkan kalimat sederhana ini:


“Wahai diri, aku ridha dengan takdir Allah atasku, aku yakin semua sudah termasuk jalan yang Allah yakin aku mampu melewatinya, maka harus semangat lagi yuk”

 

Ucapan seperti ini bagaikan pengingat lembut buatku bahwa semua yang diatur-Nya itu pas adalah jalan yang terbaik untukku.



Memperoleh Makna yang Tersirat



Melewati fase ini, aku mulai belajar bahwa beberapa hal yang aku terima ternyata punya makna yang tersirat :


  • Sabar itu aktif, bukan pasrah buta. Tetap bergerak, tapi serahkan hasilnya pada Allah.
  • Rezeki itu luas, tidak hanya soal materi.
  • Membandingkan diri itu racun, apalagi kalau lupa melihat nikmat yang sudah ada


Kini, setiap kali bertemu teman lama yang sedang di puncak, aku bisa tersenyum tulus. Bukan karena rasa minder hilang sepenuhnya, tapi karena aku tahu: Allah pun sedang menyiapkan “puncak” versiku sendiri.


Dan buat teman-teman yang pernah merasakan hal yang sama, yuk share ceritanya di komentar yaa! Semoga bermanfaat dan suka!

No comments:

Terima kasih atas kunjungannya, dont forget tinggalkan jejak (Komentar akan dimoderasi) dan saling follow ya, thanks 🙏😊

Theme images by diane555. Powered by Blogger.